Kamis, 19 November 2009

AQIDAH ADZAB KUBUR MUTAWATIR

· 0 komentar

Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag.

بسم الله الرحمن الرحيم

Allah berfirman:

فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ

“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu).” (AL-Baqarah:137).

Diantara aqidah Islam yang diimani oleh Rasul Allah -Shalallahu alaihi wa salam- dan yang diajarkan kepada umatnya adalah adanya fitnah kubur dan adzab kubur. Oleh karena itu memahami aqidah ini adalah sebuah keniscayaan, apalagi dengan adanya gerakan yang menghidupkan kembali kesesatan khawarij dan sebagian mu’tazilah yang mengingkari adanya adzab kubur karena syubhat: 1) adzab kubur itu irrasional, 2) haditsnya bersifat ahad yang berarti tidak meyakinkan dan meyakini yang zhanni adalah haram, 3) adzab kubur hanyalah masalah khilafiyyah, 4) dan dalil-dalilnya saling bertentangan (lihat: Absahkah Berdalil dengan Hadits Ahad dalam Masalah Aqidah dan Siksa Kubur, h. XVII, 57: Masalah-Masalah Khilafiyyah di antara Gerakan Islam, h. 169, 197).

Dalam makalah ini akan kami paparkan tentang fitnah kubur, adzab kubur, kewajiban mohon perlindungan dari adzab kubur, sebab-sebab yang mendatangkan adzab kubur dan yang menyelamatkan daripadanya, sehingga menjadi jelas siapa yang benar dan siapa yang sesat, siapa yang mengikuti sunnah dan siapa yang mengikuti bid’ah, siapa yang mengikuti ulama salaf dan siapa yang mengkhianati mereka.

A. FITNAH KUBUR

Yang dimaksud dengan fitnah kubur adalah ujian bagi si-mayit tatkala ditanya oleh dua malaikat Munkar dan Nakir (majmu’ al fatawa 4/257). Hafits-hadits tentang fitnah kubur ini telah mutawatir dari Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-, dari hadits al-Bara’ ibn ‘Azib, Anas ibn Malik, Abu Hurairah, dll. Fitnah kubur ini berlaku secara umum bagi orang mukallaf, kecuali para Nabi yang masih ada khilaf (Ibid, 4/257).

Ibn Abd al-Barr mengatakan: “Atsar yang shahih dalam bab ini menunjukkan bahwa fitnah kubur ini hanya berlaku bagi orang mukmin dan munafik, yaitu orang-orang sewaktu di dunia masuk dalam kategori ahli kiblat dn beragama Islam. Adapun orang-orang kafir yang ingkar maka mereka tidak ditanya tentang Tuhannya, agamanya dan nabinya, yang ditanya tentang ini semua adalah orang Islam, wallahu a’lam”. ? Allah meneguhkan (iman) orang-orang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan akhirat ? (QS. Ibrahim: 27).”

Lebih lanjut Ibn And al-Barr mengatakan: “Dalam hadits Zaid ibn Tsabit, Rasul Allah bersabda: Sesungguhnya umat ini diuji di dalam kuburya (HR. Bukhari, Tirmidzi, dll). Lafadz ini mengandung kemungkinan bahwa umat ini dikhususukan dengan hal tersebut, ini adalah perkara yang tidak qat’i.” Wallahu a’lam. (al-Tamhid 9/234-236). Sedangkan ibn al-Qoyyim mentarjih bahwa ujian di dalam Barzakh berlaku juga untuk orang kafir dan munafiq karena hadits Anas dan Bara’ dan keumuman al-Qur’an (al-Ruh, 104-107).

Berapa kali pertanyaan di kuburan?. Ubaid ibn Umair mengatakan bahwa: “Yang diuji hanya dua orang mukmin dan munafik. Adapun orang mukmin maka ia diuji tujuh hari, sedangkan orang munafik maka ia diuji 40 hari.” (ibid)

Imam Suyuthi menjelaskan bahwa fitnah kubur selama tujuh hari diriwayatkan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka, antara lain imam Ahmad dalam kitab Zuhud dari Thowus, Abu Nu’aim al-ash-Fahani dalam al-Hilyah dari Thowus, ibn Juraij dalam Mushannafnya dari Ubaid bin Umair, ibn Rajab dalam Ahwal al-Qubur dari Mujahid dan Ubaid ibn Umair… (al-Hawi 2/215-216).

Akan tetapi seluruh riwayat yang marfu’ dari nabi -Shalallahu alaihi wa salam- menunjukkan bahwa pertanyaan kubur hanyalah sekali. Wallahu a’lam (al-Tamhid 9/234).

Adapun orang yang tidak mukallaf, seperti anak kecil dan orang gila, maka para ulama’ berselisih menjadi dua pendapat:

  1. Ia diuji, ini adalah pernyataan mayoritas ahlu sunnah, diceritakan oleh Abu al-Hasan ibn Abdus dari mereka, dan oleh Abu Hakim al-Nahrawani, dll.

  2. Ia tidak diuji, sebab ujian itu untuk orang yang mukallaf di dunia.

Jumhur ahlu sunnah berhujjah dengan riwayat Imam Malik dari Abu Hurairah, bahwa Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- shalat jenazah atas anak kecil yang belum beramal kebajikan sama sekali, maka beliau berdo’a:

اللهم قِهِ عَذَابَ القبر وفتنة القبر

“Ya Allah lindungilah ia dari adzab kubur dan fitnah kubur” (al-Muwaththa’ 1/227). Ibn Taimiyah berkomentar: “ini menunjukkan bahwa ia diuji” (al-Majmu’ 4/280). Dan ini sesuai dengan orang yang menyatakan bahwa ia juga diuji dihari kiamat sebagaimana pendapat mayoritas ulama ahlu sunnah baik yang ahli hadits maupun ahli kalam, ini yang dipilih oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari sesuai dengan nash-nash imam Ahmad (al-Majmu’ 4/257,277,278, lihat ibn al-Qayyim, dalam kitab al-Ruh 1/366-369; Fath al-Bari 3/239); Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, Khalid al-Muslih, 127.

B. ADZAB KUBUR

Madzhab salaf al-Ummah dan para imamnya adalah apabila seseorang itu telah mati maka ia berada dalam kenikmatan atau adzab (al-Majmu’ 4/266). Berikut ini adalah dalil-dalil dari al-Qur’an, sunnah dan ijma’ ulama.

1. Dalil al-Qur’an:

?وَحَاقَ بِآلِ فِرْعَوْنَ سُوْءُ الًعَذَابِ ?

اَلنَّارُ يُعْرَضُوْنَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوْا آلَ فِرْعَوُنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ?

غافر: 45-46

Dan Fir’aun beserta pengikutnya dikepung oleh adzab yang sangat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat (dikatakan kepada mereka): “Masukkan Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras.”

Al-Qurtubi berkata: jumhur ulama mengatkan bahwa العرض ini ada dalam barzah dan ini adalah hujjah bagi adanya adzab kubur (Fathhul Bari 3/233; Tafsir al-Qurthubi 15/319; al-I’tiqad Aimmah al-Hadits, 69; Syarh hadits Jibril dalam Fatawa al-Aqidah, h. 171-172; Fath al-Bari 3/231).

2).

?وَِإنَّ لَّلذِيْنَ ظَلَمُوْا عَذَابًا دُوْنَ ذَلِكَ وَلَكِنْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ ?

الطور:47

Dan sesungguhnya untuk orang-orang yang dhalim ada adzab selain itu, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya”.

Syaikh Abdur Rahman al-Sa’di mengatakan: “Tatkala Allah menyebutkan adzab untuk orang-orang zhalim di akhirat maka Dia memberitakan bahwa ada adzab untuk mereka sebelum adzab di hari kiamat nanti. Ini adalah mencakup adzab di dunia dengan dibunuh, ditawan dan diusir dan mencakup adzab Barzakh dan adzab kubur, akan tetapi kebanyakan mereka tidak meyakini” (Tafsir al-Karim al-Rahman 5/122).

3).

إذَ الظَّاِلُمْوْنَ فِي غَمَرَاتِ اْلَموْتِ وَالْمَلاَئِكَةُ بَاسِطُوْا أَيْدِيْهِمْ أَخْرِجُوْا أَنْفُسَكُمْ الَّيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُوْنِ

الانعام : 93

Sekiranya kamu melihat diwaktu orang-orang yang dzalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya (sambil berkata): “keluarkanlah nyawamu”, Dihari ini kamu dibalas dengan siksaan yang menghinakan”.

Ibn Abbas berkata: ini adalah ketika mati, para malaikat memukuli wajah dan pantat mereka. (fath al-Bari 3/2337). Hal ini di saksikan oleh surat Muhammad ayat 27 dan surat al-Anfal ayat 50-51.

4). Firman Allah:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit ". (Thaha: 124)

ini terjadi sebelum hancurnya dunia, karena setelah itu Allah

ونحشره يوم القيامة أعمي Allah menjelaskan bahwa kehidupan yang sempit itu sebelum hari kiamat, dalam kenyataan di dunia kita lihat Yahudi dan Nasrani serta kaum musyrikin berada dalam kemewaan dan kemakmuran, ini menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh Allah bukanlah kesempitan rizki dalam kehidupan dunia, akan tetapi dalam kehidupan setelah mati sebelum hari kebangkitan. (I’tiqad Aimmah al-Hadits, 70).

Syaikh Abdur Rahman al-Sa’di menegaskan: “Sebagai balasan untuknya adalah Kami jadikan kehidupannya sempit dan susah. Hal ini tidak lain adalah adzab. Kehidupan yang sempit ditafsiri dengan adzab kubur karena kuburan disempitkan atasnya, dia dikurung dan diadzab sebagai balasan bagi perbuatannya yang berpaling dari dzikir kepada Allah, ini adalah salah satu ayat yang menunjukkan adanya adzab kubur. Ayat yang kedua adalah dalam Surat al-An’am nomor 93, ayat ketiga dalam Surat al-Sajdah nomor 27 dan keempat dalam Surat al-Mukmin nomor 45-46. sebagian ahli tafsir memandang bahwa kehidupan yang sempit itu meliputi di alam dunia …….. di alam barzakh dan di alam akhirat, karena mutlak tidak dibatasi (Taisir al-Karim al-Rahman 3/230). Selain itu adzab kubur juga dikandung oleh Surat al-Waqi’ah ayat 83-96 dan al-Fajr: 27).

Dalil al-Sunnah

Hadits-hadits Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- tentang adzab kubur sangat banyak, hingga Ibn Abd al-Barr mengelompokkannya dalam hadits mutawattir 9al-Tamhid 9/230) begitu pula ibn Taimiyah (al-Majmu’ 4/285), dan imam Ali ibn Abd al-Izz, ( Tahdzib syarah al-Thahawiyah, 238). Diantara hadits-hadits tersebut:

a. Hadits al-Bara’ ibn ‘Azib.

Hadits al-Bara’ ibn ‘Azib, Rasul Allah -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda: “Apabila seorang mukmin didudukkan di dalam kuburnya, ia akan didatangi (oleh malaikat) lalu dia bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasannya Muhammad adalah utusan Allah, itulah yang dimaksud oleh firman Allah :

يثبت الله الدين امنوا بالقول الثابت

dan dalam jalur lain Ghundar menambahkan :Ayat ini turun berkenaan dengan adzab kubur (HR Bukhori no.1369, Muslim no.2871).

Hadits Bara’ ini secara panjang lebar diriwayatkan oleh Ahmad 4/287; Hakim 1/37 dan Ibn Abi Syaibah 3/381. (lihat al-Tamhid 9/232)

b. Hadits ibn Umar -Radiallahu anu-, dll.

Bahwa tatkala orang-orang musyrik dimasukkan dalam al-Qalib, Rasul Allah memanggil mereka: “hai fulan-hai fulan, apakah kalian telah mendapatkan bahwa apa yang telah dijanjikan oleh Tuhan kalian adalah benar? Sesungguhnya aku mendapatkan apa yang telah dijanjikan oleh Tuhanku adalah benar (HR Bukhori no.1370, 3976, 3980, 4026, Muslim no. 2873). Ini menunjukkan keberadaan mereka, pendengaran mereka dan kebenaran adzab yang yang dijanjikan oleh Allah setelah mati (al-Majmu’ 4/267).

c. Hadits Aisyah رضي الله عنها ?

Ia berkata: “Seorang wanita yahudi Madinah yang sudah tua masuk ke rumahku. Ia berkata bahwa ahli kubur itu disiksa di dalam kuburnya, maka saya mendustakannya, tidak mempercayainya. Setelah ia keluar Rasul Allah -Shalallahu alaihi wa salam- masuk rumah, maka saya ceritakan kalau seorang wanita yahudi tua telah datang dan menyatakan bahwa ahli kubur itu disiksa dalam kuburnya, maka beliau bersabda: “Wanita itu benar, mereka disiksa dengan siksaan yang bisa didengar oleh seluruh binatang”. Aisyah berkata: “Maka setelah itu saya tidak pernah melihat Rasul Allah -Shalallahu alaihi wa salam- shalat melainkan beliau memohon perlindungan dari adzab kubur”. Ghundar menambahkan: “Adzab kubur adalah haq”. (HR Bukhori no. 1372,6366 dan Muslim 586).

d. Hadits Ummu Mubasysyir رضي الله عنها

Dia berkata: “rasul Allah -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda kepadaku, ketika aku sedang berada di kuburan, beliau bersabda: “berlindunglah kalian dari adzab kubur” saya bertanya: wahai rasul Allah, apakah dalam kubur ada adzab?. Beliau menjawab: sesungguhnya mereka disiksa di dalam kuburnya dengan siksaan yang bisa didengar oleh hewan.” (HR. Abu Hatim al-Busti, shahih, lihat Syarah Aqidah al-Wasithiyah 130)

e. Hadits Asma’ binti Abi Bakar رضي الله عنها

Rasul Allah bersabda (setelah shalat kusuf): “Tidak ada sesuatu pun yang belum aku lihat melainkan aku telah melihatnya dari tempatku ini hingga surga dan neraka. Dan telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian diuji di dalam kubur kalian, seperti atau mendekati fitnah Dajjal.” (HR. Malik:40; Bukhari 1/95, dll, lihat al-Tamhid 9/227-228)

f. Hadits Anas ibn Malik -Radiallahu anhu-

Rasul Allah bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba jika diletakkan di dalam kuburnya dan ditinggalkan oleh pengantarnya- dan dia mendengar suara sandal mereka - ia didatangi oleh dua malaikat dan didudukkan, lalu keduanya menanyai: “Apa yang kamu ketahui tentang perihal orang ini, maksudnya Muhammad -Shalallahu alaihi wa salam- , maka orang mukmin akan menjawab: saya bersaksi bahwa dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Lalu dikatakan: “Lihatlah kepada tempat dudukmu dari neraka, Allah telah menggantikannya untukmu tempat duduk syurga, lalu ia melihat kepada keduanya sekaligus. Qatadah berkata: “Disebutkan kepada kami bahwa kuburnya diluaskan untuknya”. Kemudian kembali kepada hadits Anas. “Adapun orang munafik dan orang kafir maka mereka menjawab: saya tidak tahu, saya dulu menirukan ucapan orang-orang. Maka dikatakan : kamu tidak tahu, kamu tidak baca al-Qur’an (atau tidak mengikuti orang tahu)”, kemudian dia dipukul sekali dengan palu godam yang terbuat dari besi, maka ia menjerit dengan jeritan yang bisa didengar oleh seluruh mahluk yang ada di sekitarnya selain manusias dan jin”. (HR Bukhori no. 1347).

Dalam hadits Bara’ disebutkan: seandainya dipukulkan pada gunung tentu akan hancur menjadi debu. Dalam hadits Asma’ “seekor binatang yang dikirim ke dalam kuburnya ia membawa cambuk dan ujungnya adalah bara api sebesar kepala unta, ia memukulinya sesuai denga kehendak Allah, tanpa ada suara ia tidak mendengar suaranya sehingga tidak merasa kasihan kepadanya”. Dalam hadits Abu Said, Abu Hurairah dan Aisyah ada tambahan: kemudian dibukalah pintu syurga untuknya lalu dikatakan kepadanya “ini adalah tempat tinggalmu seandainya kamu beriman kepada Rabbmu, karena kamu telah kufur maka Allah mengganti ini (dengan neraka), lalu dibukalah satu pintu ke neraka”. Dalam hadits Abu Hurairah ada tambahan “maka ia semakin menyesal dan tersiksa, dan kuburnya menghimpitnya hingga tulang rusuknya porak-poranda”. Dalam hadits al-Bara’ dinyatakan “maka ada yang memanggil dari langit: “hamparkan untuknya tikar dari neraka, pakaikan baju dari neraka dan bukakanlah untuknya satu pintu menuju neraka, maka sampailah kepadanya panasnya neraka”. (Fath al-Bari 3/237-240).

g. Hadits Abu Ayyub al-Anshari.

Ia berkata: Rasul Allah -Shalallahu alaihi wa salam- keluar dari rumah pada waktu matahari telah terbenam, maka beliau bersabda: “orang-orang yahudi itu disiksa dalam kuburnya”. (HR Bukhori no. 1375 dan Muslim 2869).

h. Hadits Zaid ibn Tsabit.

ia berkata: ketika Rasul Allah -Shalallahu alaihi wa salam- berada di suatu kubur milik bani najjar di atas sebuah keledai-dan kami bersama beliau- tiba-tiba keledai itu berputar-putar hingga hampir menjatuhkan Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- , ternyata di sana ada kuburan yang berjumlah enam, lima atau empat, maka beliau bertanya: “siapa yang mengetahui perihal kuburan ini? Maka seseorang berkata: saya, beliau bertanya: “kapan mereka mati?. Dia menjelaskan: mereka itu mati dalam keadaan syirik, maka beliau bersabda:”sesungguhnya mereka ini diuji di dalam kuburnya. Seandainya kalau tidak saling dikubur tentu aku mohon kepada Allah agar memperdengarkan kepadamu suara siksa kubur yang aku dengar”. Kemudian beliau menghadap kami dan bersabda: “mintalah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur”. Mereka berkata: kami berlindung kepada Allah dari adzab kubur. Beliau bersabda: “mintalah perlindungan kepada Allah dari adzab neraka”. Mereka berkata: kami berlindung kepada Allah dari adzab neraka. Beliau bersabda: “mintalah perlindungan kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi”. Mereka berkata: kami berlindung kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi. Beliau bersabda: “mohonlah perlindungan kepada Allah dari fitnah dajjal”. Mereka berkata: kami berlindung kepada Allah dari fitnah dajjal. (HR Muslim 2867).

i. Hadits Ibn Abbas -Radiallahu anhu- .

Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- berjalan melewati dua kuburan, maka beliau bersabda: “Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, dan tidaklah mereka disiksa karena dosa besar. Salah satunya adalah karena ia mengadu domba, adapun yang lainnya karena tidak bertabir dari kencingnya”. Kemudian beliau minta satu pelepah kurma yang basah lalu membelahnya menjadi dua, kemudian menancapkannya pada masing-masing kuburan. Mereka bertanya heran: Ya Rasul Allah mengapa anda melakukan ini? Beliau menjawab: “Semoga diringankan siksa itu dari meraka berdua selama kedua pelepah tidak kering”. (HR Bukhori: 216 &1378; Muslim: 292).

j. Hadits Ibn Abbas -Radiallahu anhu-

Rasul Allah -Shalallahu alaihi wa salam- mengajarkan kepada mereka do’a berikuit ini, sebagaimana beliau mengajarkan satu surat al-Qur’an: “Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari adzab jahannammu, aku berlindung kepadamu dari adzab kubur, aku berlindung kepadamu dari fitnah al-Masih al-Dajjal dan aku berlindung kepadamu dari fitnah kehidupan dan kematian”. (HR Muslim: 590; Malik: 450; Nasa’i :8/277; Abu Daud: 980; Tirmidzi: 3494; Ibnu Majah: 3840, dll)

k. Hadits Abu Hurairah -Radiallahu anhu-

Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda: “Apabila salah seorang kamu selesai dari tasyahhud akhir, maka ucapkanlah: Aku berlindung kepada Allah dari empat hal; dari adzab jahannam, dari adzab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian dan dari fitnah al- Masih al-Dajjal”. (HR Muslim: 588).

l. Hadits Asma’ Ummu Khalid binti Khalid ibn Said ibn al-Ash رضي الله عنها .

Dia mendengar bahwa Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- berlindung dari adzab kubur (HR, Bukhori : 1376, 6374). Dalam lafadz lain Nabi bersabda:

إِسْتَجِيرُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ فَإنَّ عَذَابَ الْقَبْرِ حَقٌّ

“Mintalah pertolongan kepada Allah dari adzab neraka, karena sesungguhnya adzab neraka itu hak”. (HR al-Thabrani. Lihat Fath al-Bari 3/242).

m. Hadits Ibn Umar -Radiallahu anhu-

Rasul Allah -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda: “sesungguhnya apabila salah seorang kamu mati, maka tempat duduknya ditampakkan kepadanya diwaktu pagi dan waktu sore, jika ia ahli syurga maka (yang ditampakkan) adalah syurga, dan jika ahli neraka maka (yang ditampakkan) adalah neraka, lalu dikatakan kepadanya: inilah tempat dudukmu hingga Allah membangkitkan kamu pada hari kiamat (HR Bukhori: 1379, 3240, 6515 dan Muslim).

  1. Hadits Usman ibn Affan -Radiallahu anhu-

Rasul Allah -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda: “kubur itu adalah persinggahan pertama dari persinggahan-persinggahan akherat, jika seorang hamba selamat daripadanya, maka apa yang ada setelah itu adalah lebih dasyat “. (HR Tirmidzi, Ibn Majjah dan Hakim, disahihkan oleh Hakim).

3. IJMA’ ULAMA AHLI SUNNAH.

Seluruh ulama ahli sunnah menetapkan adanya adzab kubur, tidak ada yang menolak kecuali ahli bid’ah, dan kelompaok khawarij dan sebagian mu’tazilah, seperti Dhirar ibn Amr dan Bisyr al-Murisi, sementar mayoritas mu’tazilah adalah mengimani. (lihat Fathg al-Bari 3/233). Sebagai contoh kita sebutkan imam madzhab empat dan beberapa imam yang lain:

  1. Abu Hanifah: Pertanyaan mungkar dan nakir di dalam kubur adalah haq, pengembalian ruh pada jasadf di dalam kubur adalah haq, himpitan kubur dan adzabya adalah haq bagi seluruh orang kafir, dan bagi sebagian orang mukmin yang ahli maksiat adalah haq yang jaiz”. (al-Syarh al-Muyassar li Fiqh al-Akbar. 79).

  2. Malik ibn Anas meriwayatkan dalam al-Muwaththa’ do’a Abu Hurairah yang memohonkan perlindungan dari adzab kubur untuk anak-anak kecil yang telah dishalatinya (hal 227) dan meriwayatkan wanita yahudi yang disiksa di dalam kuburnya (hal 234).

  3. Imam Syafi’i berkata: “Adzab kubur itu benar adanya dan pertanyaaan yang diajukan kepada penghuni kubur juga benar adanya”.(Al-‘Itiqad oleh al-Baihaqi. 255,256,262; Manaqib Asy-Syafi’i 1/415-416).

  4. Imam Ahmad berkata: “Diantara ajaran sunnah yang wajib dan barang siapa meninggalkan salah satunya maka tidak diterima dari padanya dan tidak termasuk ahli sunnah adalah … iman dengan adzab kubur dan bahwasannya umat ini adalah ditanya di dalam kuburnya tentang iman dan Islam”. (Al-lalakai I/156 dll. Lihat Ushuluddin ‘inda al-Aimmah al-Arba’ah, al-Qifari hal. 100}.

  5. Imam al-Asy’ari berkata: “Mu’tazilah telah mengingkari adzab kubur, semoga kita dihindarkan dari padanya, padahal telah diriwayatkan dari nabi -Shalallahu alaihi wa salam- dari banyak wajah dan diriwayatkan dari para sahabatnya -Radiallahu anhu- , dan tidak seorangpun dari mereka yang mengingkaari atau menolaknya, maka konsekuensinya ini adalah ijma’ daari para sahabat nabi -Shalallahu alaihi wa salam-.” (al-Ibanah: 166).

f. Imam Ali ibn Abi al-Izz al-Hanafi berkata: “Telah mutawattir berita dari Rasul Allah -Shalallahu alaihi wa salam- tentang adanya adzab kubur dan nikmat kubur bagi ahlinya, begitu pula tentang pertanyaan dua malaikat, maka wajib meyakini kebenarannya dan mengimaninya”. (Tahdzib al-Thahawiyah. 238).

Imam Abu Laits al-Samarqandi berkata: “Barang siapa ingin selamat dari adzab kubur, maka melestarikan empat perkara dan meninggalkan empat perkara. Empat perkara yang harus dilestarikan adalah: shalat lima waktu, sedekah, membaca al-Qur’an dan banyak bertasbih. Sesungguhnya empat hal ini adalah menerangi kubur dan melapangkannya. Adapun empat perkara yang wajib dihindari adalah: Dusta, khianat, adu domba dan tidak hati-hati dalam buang air kecil. (Tanbih al-Ghafilin hal. 45).

g. Ibn Abd al-Barr berkata: “Atsar dalam masalah ini (fitnah kubur) adalah mutawattir, ahlu sunnah seluruhnya mengimaninya, tidak ada yang mengingkarinya kecuali ahli bid’ah.” (al-Tamhid 9/270; lihat juga Ibid 5/29)

Semoga kita semua dihidupkan dan dimatikan di atas landasan Islam dan Sunnah dan diselamatkan dari segala fitnah, amin.

Malang; 25 Desember 2002

Direvisi pada 14 Ramadhan 1424 H

Minggu, 15 November 2009

PERSPEKTIF HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA

· 0 komentar

Lembaga kepala negara dan pemerintahan diadakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pengangkatan kepala Negara untuk memimpin umat Islam adalah wajib menurut ijma`.

[Imam Al-Mawardi, Ahkaamus-Sulthaniyyah wal-Wilaayaatud-Diiniyyah]

Negara menurut KBBI adalah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Mengadakan suatu Negara atau mengangkat pemerintahan wajib hukumnya berdasarkan akal dan syariat. Meskipun manusia berbeda pendapat tentang dasar kewajiban mengangkat pemerintahan dan mengadakan suatu Negara. Mereka yang mendasarkan pada akal berpendapat bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menyerahkan kepemimpinan kepada seseorang yang dapat menghalangi kedzaliman dan menuntaskan perselisihan serta permusuhan di antara mereka. Sementara mereka yang mendasarkan kepada syariat menegaskan bahwa pemerintah memiliki tugas-tugas agama dan didorong oleh syariat untuk menegakkannya. Boleh jadi tugas-tugas ini ditentang atau tidak didorong oleh akal -- yang seringkali absurd dalam mendefinisikan keadilan dan kebenaran. Allah SWT mewajibkan kita untuk taat kepada ulil amri kita (Lihat, an-Nisaa`: 59).

Banyak sekali dalil dalam fiqh Islam yang mengafirmasi ketaatan kita kepada ulil amri[1]. Bahkan kewajiban ini tetap berlaku meskipun ulil amri melakukan kedzaliman kepada kita. Mutlaknya ketaatan kepada pemerintah dan absolutnya kekuasaan mereka terhadap rakyat bukan berarti sistem kenegaraan dan pemerintahan kita bersifat despotik, dan tidak demokratis.

Dalam perspektif Islam kedudukan dan perilaku setiap orang senantiasa ditimbang dan terikat oleh syariat. Ketaatan terhadap ulil amri (pengusa) yang berlaku dzalim bukan berarti menerima kedzalimannya. Sebelum itu, jika kita mengangkat seseorang sementara ada orang selain dia yang Allah lebih ridho kepadanya, kita dianggap telah mengkhianati Allah, Rasul dan Kaum Muslimin[2]. Bahkan pada keadaan tertentu kita wajib mengganti atau memerangi penguasa. Semuanya memiliki timbangan yang jelas dalam kaidah-kaidah ilmu fiqh. Ketaatan kepada ulil amri merupakan bentuk ibadah kita kepada Allah SWT. Sebab ketaatan adalah bagian dari agama (al-diin) dan ibadah. Bahkan persoalan ketaatan ini termasuk dalam perkara, yang oleh para Ulama masa kini (mu`ashir) disebut dengan tawhid al-hakimiyyah (salahsatu cabang tawhid uluhiyyah- ubudiyyah).

Negara dan Agama

Hubungan antara agama dan negara seringkali menimbulkan pro-kontra. Kalangan Islamis tentunya akan selalu mendasarkan setiap persoalan -termasuk negara pada- pijakan agama. Sementara kalangan Sekularis walau bagaimanapun tidak bisa membuang agama dalam kehidupannya. Bahkan, betapa pun sempitnya ruang untuk agama yang diberikan oleh kalangan Sekularis, undang-undang (wadl`iyyah) tetap membutuhkan agama dan ketuhanan untuk mengambil kesaksian atau sumpah jabatan kepala negaranya. Hal ini menunjukan bahwa manusia tidak bisa meninggalkan ghorizah tadayun (hasrat glorifikasi) terhadap Tuhan dan agama.

Dalam perspektif Islam, posisi agama terhadap keberadaan negara adalah mabda` (dasar/ ideology) dan ma`ad (tujuan/ vision) secara sekaligus. Negara diadakan karena keimanan kepada Allah SWT dan kepatuhan kita terhadap Undang-undang-Nya. Demikian pula Negara diselenggarakan untuk mencapai mendapatkan pahala (ajr-l hasanah) dan keridhoan Allah SWT. Istilah hadith untuk keadaan ini biasa disebut ‘imanan wa-htisaban’. Sementara itu, menurut ush-l fiqh negara diadakan sebagai wasilah (sarana) atas dasar kaidah “maa layatimul wajib illa bihi fahuwal wajib”. Oleh karena itu, pengadaan dan penyelenggaraan suatu Negara menuntut 2 hal: al-ikhlas lil-Llahi ta`ala dan al-ittiba` lis-sunnatin-nabi.

Abu Hamid Al-Ghazali dalam Al-Iqtishad fil I`tiqad menyimpulkan bahwa lembaga agama (nidzam al-diin) tidak akan baik kecuali dengan lembaga dunia/ negara (nidzam al-dunya). Bahkan beliau menjadikan nidzamu al-dunya sebagai syarat (shartun) kepada nizdami al-diin. Betapa erat dan terkaitnya hubungan diantara agama dan negara.

Madinah: Tegaknya Agama

Ketika sampai pada diskursus “negara dalam perspektif islam” kaum muslimn terbagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah yang mewajibkan berdirinya Negara Islam. Sedangkan kelompok kedua menganggap tidak ada kewajiban mendirikan Negara Islam. Kedua kelompok tersebut merujuk pada Sirah Nabawiyah yang sama dan mereka semua meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW telah melakukan hijrah dari Mekkah ke Yastrib. Kemudian sejarah telah mencacat perubahan nama Yastrib menjadi Madinah. Pada perspekif Sirah Nabawiyah inilah perdebatan muncul.

Perdebatan yang sering muncul adalah masalah penerjemahan istilah Madinah secara kontekstual dan politis. Kelompok pertama menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai Madinah adalah sebuah ‘negara modern’ dalam pengertian kekuasaan konstitusional. Sementara kelompok kedua mengusung istilah ‘masyarakat madani’ dan mengasimilasikannya dengan konsep ‘civil society’. Tulisan ini tidak bermaksud menjelaskan secara rinci perdebatan tersebut. Melanjutkan pembahasan diatas tentang hubungan antara Negara dan Agama, cukuplah kita berpegang pada kesepakatan istilah ‘Madinah’ (tanpa penambahan istilah negara atau masyarakat) dan berupaya memahaminya.

Manusia telah sepakat bahwa Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya telah melakukan hijrah dari negeri tempat asal mereka. Mereka mencari sebuat tempat baru bukan untuk mencari lapangan kerja atau mengundi nasib. Bukan pulsa hijrah mereka itu karena takut atau diusir. Akan tetapi motivasi pertama dan utama mereka adalah iqamatud-diin (menegakkan agama). Dalam sebuah hadith disebutkan: “Aku bermimpi bahwasanya aku berhijrah dari Mekkah ke suatu tempat/ negeri yang banyak ditumbuhi kurma, maka dugaanku tertuju kepada Yamamah atau Hajar, ternyata negeri itu adalah Yastrib.” [R.Bukhari&Muslim]

Dalam konteks hijrah, Yastrib adalah mahjar (tempat tujuan hijrah), sedangkan tujuan hijrah mereka menuju mahjar adalah untuk iqamatud-diin. Oleh karena itu menjadi tepatlah ketetapan Nabi Muhammad SAW untuk menamakan mahjar mereka sebagai Al-Madinah. Lalu apa makna nama Madinah dan ketetapan Nabi Muhammad SAW untuk mengganti nama Yastrib dengannya?

Jika dikatakan bahwa Madinah bermakna kota, tentunya Mekkah pun adalah kota Nabi. Jika dikatakan bahwa Madinah itu negara atau masyarakat, apakah Mekkah bukan? Tentunya perkataan tersebut menjadi kurang tepat dan tidak bermanfaat karena hanya menggunakan tinjauan sosiologis-geografis. Padahal penggunaan nama/istilah Madinah bukanlah penamaan yang bersifat sosiologis atau geografis. Nama tersebut ditetapkan oleh Nabi Muhammad berdasarkan wahyu iLaahi yang artinya “ism al-makan”. Mengingat Dan tentu saja makna lengkap dari Madinah adalah nama suatu tempat diterapkan dan disempurnakannya al-diin.

Kesimpulannya, ketika agama (diin) diterapkan secara sempurna di suatu tempat atau wilayah maka tempat tersebut adalah negaranya (madinah). Mafhum mukhalafah-nya, negara adalah sebutan atau lambang dari kesempuraan penerapannya suatu agama. Jika ini persoalan mabda` dan ma`ad, agama apakah yang diterapkan oleh Madinah Indonesia? Waallahu a`lam!

Untuk lebih lengkap, silahkan baca

Imam Al-Mawardi, Ahkaamus-Sulthaniyyah wal-Wilaayaatud-Diiniyyah

Shaikh Shafiyur Rahman Al-Mubarak Furi, Tarikh Al-Madinah Al-Munawwarah

Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA. Menggali Identitas Politik Islam. Vol. V no.2

Syed Naquib Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin

Muchamad Ridho H.

Bogor, 12 Nopember 2009



[1] Menjadi penting untuk dipertimbangkan penjelasan Ibnul Qayyim dan selain beliau, bahwa yang dimaksud dengan Ulil AmriUmara` dan Ulama` dikalangan kaum muslimin. Tidak selalu seseorang/ pihak yang memiliki kekuasaan politik terhadap kaum muslimin disebut sebagai Ulil Amri. adalah para

[2] Dari matan hadith riwayat Al-Hakam yang dinukil oleh Mushtafa Masyhur dalam kitab Al-Qiyadah Wal-Jundiyah. Menurut beliau Imam Suyuti menshahihkannya.

Rabu, 28 Oktober 2009

Makhluq Apakah Darurat Itu...?

· 0 komentar

Diantara pembahasan fiqh ada yang dikenal dengan sebutan rukhsah dan darurat. Rukhsah biasanya diambil karena kondisi darurat. Memakan babi yang haram menjadi boleh atau dirukhsah dalam keadaan darurat. Sementara seorang ikhwan yang menelepon atau mendatangi kosan akhwat karena syahwatnya sedang tinggi, tentu bukan termasuk darurat. Meskipun kedua kasus tersebut sama-sama memiliki unsur dorongan untuk menyelamatkan diri.

Topik diskusi kali ini adalah KONSEP DARURAT DALAM SYARIAH ISLAM. Adapun jika terpaksa membahas tentang hukum terkait seperti RUKHSAH, dll mohon tidak memperpanjang pembahasan..

Berikut ini beberapa cuplikan pendapat Ulama tentang darurat:
Darurat dapat diartikan sebagai kekhawatiran akan terancamnya kehidupan jika tidak memakan yang diharamkan, atau khawatir akan musnahnya seluruh harta miliknya. (Muhamad Abu Zahrah dalam Ushul Al-Fiqh hal. 43 ). Sementara Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Nazhariyyah Al-Dharurah mendefinisikan darurat sebagai suatu keadaan datangnya bahaya (khathr) pada manusia atau kesulitan (masyaqqah) yang amat berat, yang membuat dia khawatir akan terjadinya mudarat atau sesuatu yang menyakitkan atas jiwa, anggota tubuh, kehormatan, akal, harta, dan lain-lain.

Selasa, 20 Oktober 2009

Memahami Konsepsi Iman dan Hakikatnya

· 0 komentar

Iman atau yang biasa diterjemahkan sebagai kepercayaan atau keyakinan adalah dasar/ pokok dari ajaran Islam. Agama Islam mendasarkan seluruh amal manusia (pengikutnya) pada hal ini. Seluruh perhitungan pahala dan dosa bergantung pada keimanan seseorang. Masalah Iman ini adalah masalah al-asma` wal ahkam. Bahkan menurut Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah ra., salah dalam ismul imaan tidak seperti salah dalam ismul muhdats.

Pembahasaan ini kami anggap penting karena merupakan bagian dari ushuluddin. Siapa yang lemah dalam ushul tentu akan lemah pada perkara furu` (cabang). Juga perbedaan pada perkara cabang merupakan konsekuensi dari perbedaan pada perkara ushul. Sementara itu, banyak pihak yang berkepentingan untuk mencampurbaurkan dan merancukan konsep dasar dalam Islam.

Pernyataan tentang Iman dan Kufur (yang berarti juga menjelaskan konsepnya) mengandung konsekuensi yang berat dibelakangnya. Menyatakan seseorang sebagai muslim atau sebagai kafir bisa dianggap sebagai pernyataan tempat seseorang di akhirat. Jika ini dianggap benar, itu berarti orang-orang yang tidak mempercayai kehidupan akhirat diluar pembahasan ini. Maksudnya, dia tidak berhak ikut campur dalam hal-ihwal statment ini.

Orang-orang yang mempercayai (kebanaran) adanya Yaumul Akhir berselisih sebagaimana orang-orang yang mempercayai (kebenaran) adanya al-Kholiq. Akan tetapi Islam telah menetapkan bahwa kebenaran hanya ada pada orang yang beriman kepada aLLoH dan beriman kepada Yaumul Akhir; al-Imaanu biLLaH wal-Yaumil Akhir. Mereka sepakat dalam i`tiqod akan tetapi sering berbeda dalam praktek. Diantara mereka ada yang dijamin keselamatannya dari siksa an-Naar, meski seluruhnya punya hak untuk memasuki al-Jannah. RosuluLLoH menyebut (laqob) mereka sebagai Al-Firqoh An-Najiyah, yang maa ana alayhi wa ashaby (bersama sunnah Nabi dan sunnah sahabatnya).

Definisi dan Batasan

Perbedaan dan perdebatan tentang konsep Iman sudah bermulai sejak abad-abad awal sejarah peradaban Islam. Kenyataan ini menyebabkan umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan. Masalah Iman adalah salahsatu penyebab utamanya. Awalnya perdebatan ini hanya seputar masalah al-kabair (dosa besar) – apakah ia membuat kafir (mukaffiroh) atau tidak. Perbedaan yang ada belakangan ini tidak berarti tidak adanya kejelasan konsep Iman dalam Islam. Karena para zaman para shahabah ridlwanaLLoHu ajma`in tidak ada perdebatan semacam ini.

Konsep yang baik dan sempurna adalah konsep yang memuat pernyataan jami` (komprehensif) dan mani` (protektif). Jami` berarti mencakup keseluruhan hal yang ada pada konsep tersebut. Mani` berarti membatasi/ menghalangi dari hal yang tidak dicakup oleh konsep tersebut.

Diantara pendapat tentang Iman adalah pernyataan bahwa Iman adalah tasdiqul qolb (pembenaran hati). Sebagiannya menjadikan amal sebagai penyempurna, sebagian menganggapnya sebagai konsekuensi logis Kemudian juga ada yang pendapat bahwa Iman itu “satu” dan “sempurna”. Ketika ia hilang sebagiannya maka hilang seluruhnya.

Penerapan jami` dan mani` dalam masalah ini pun menjadi samar. Anggapan bahwa Iman tempatnya di hati memiliki asumsi bahwa seseorang bisa saja beriman meski amalnya tidak menunjukan hal itu. Sementara yang berpendapat Iman itu “satu” memiliki asumsi bahwa amal yang tidak sesuai dengan Iman adalah kedustaan (kazb), sedangkan kazb bertentangan dengan Iman. Asumsi-asumsi ini bolehjadi mengacu pada dalil-dalil ayat al-Qur`an, akan tetapi belum tentu bersandar pada kerangka berpikir yang shohih.

Pengertian Iman dan Hakikatnya

Pendapat yang raajih adalah bahwasanya Iman itu perkataan/ucapan (qoul) dan perbuatan (amal), bertambah (yaziidu) dan berkurang (yanqushu). Berkata Ibnu Hajar rahimahuLLoH dalam Fathul Bari: “Al Lalikai meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Al Bukhari beliau berkata: saya bertemu lebih dari seribu lelaki dari para ulama di kota-kota, maka saya tidak melihat seorang pun dari mereka yang menyelisihi bahwasanya iman adalah ucapan dan perbuatan, dan bertambah dan berkurang.”

Penjelasan ringkas:

§ Yang dimaksud qaul (perkataan) yaitu: perkataan hati dan perkataan lisan (badan).

§ Yang dimaksud amal (perbuatan) yaitu: perbuatan hati dan anggota badan.

§ Adapun yang dimaksud perkataan hati yaitu ma’rifah-nya dan tashdiq-nya yang sebenarnya yang bangkit di atas ketaatan dan kepatuhan.

§ Adapun perkataan lisan yaitu mengikrarkan syahadatain. (juga ucapan lainnya)

§ Adapun perbuatan hati yaitu ibadah-ibadah hati seperti ikhlas, khasyyah (takut), mahabbah (cinta), taslim (menyerah) dan sebagainya.

§ Adapun perbuatan al jawarih (anggota badan) yaitu: menuruti perintah-perintah dan larangan-larangan syari'at.

§ Adapun yang dimaksud bertambah (yaziidu) dan berkurang (yanqushu) yaitu: bertambah dengan ketaatan-ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan-kemaksiatan sampai tidak tersisa sedikitpun. [Lihat: Al Jami’]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahuLLoH merangkum ucapan-ucapan tentang pengertian Iman dan hakikatnya yang termasuk katagori Ahlussunnah.

Beliau berkata: Dan dari ucapan-ucapan salaf dan imam-imam sunnah dalam menafsirkan iman maka kadang kala mereka mengatakan: ucapan dan perbuatan, dan kadangkala mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat, dan kadangkala mereka mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat dan mengikuti sunnah, dan kadangkala mengatakan: ucapan dengan lisan, dan keyakinan dengan hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Dan semuanya ini benar – sehingga kata-katanya – bagi salaf yang mengatakan: iman adalah ucapan dan perbuatan hati dan anggota badan, maksudnya ucapan hati dan lisan dan perbuatan hati dan anggota badan. Dan bagi yang menggunakan lafadz “I’tiqad” (keyakinan), mereka berpendapat bahwa lafadz qaul (ucapan) tidak bisa dipahami darinya selain ucapan yang lahir (ucapan lisan) atau mereka khawatir yang demikian itu maka mereka tambah i’tiqad (keyakinan) dengan hati.

Adapun yang mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat, dia berkata: bahwa ucapan mengandungi keyakinan dan ucapan lisan, dan adapun perbuatan kadangkala tidak dipahami darinya niat, lalu ditambahkan niat di situ. Dan adapun yang menambahkan ittiba’us sunnah (mengikuti sunnah) karena seluruhnya itu tidak akan dicintai Allah kecuali dengan mengikuti sunnah. Dan mereka tidak bermaksud segala ucapan dan perbuatan, maksud mereka hanyalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang masyri’ (disyari’atkan). Akan tetapi maksud mereka adalah menyanggah terhadap Murji`ah yang menjadikan iman hanya ucapan saja, maka mereka berkata: bahkan ucapan dan perbuatan. (Majmu'ul Fatawa 7/170-171)

Martabat Iman

Kaitan antara kesempurnaan Iman, naik-turunnya Iman atau pernyataan bahwa Iman itu “satu” maka perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan martabat (tingkatan) Iman.

Apabila disebut lafadz “Iman” berarti maksudnya addien (agama) secara keseluruhannya, ia merangkumi cabang-cabang sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

Artinya: Iman adalah tujuh puluh atau enam puluh cabang, maka yang paling utamanya adalah ucapan “Laa ilaaha ila aLLoh” dan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan duri dari jalan, dan malu adalah cabang dari iman. [H.R. Muslim]

Maka Iman adalah mengandungi seluruh ketaatan yang fardhu dan yang sunnah dari segala yang diwajibkan atas hati, lisan dan anggota badan. Begitu juga Iman merangkumi atas meninggalkan perkara-perkara yang dilarang, yang haram, dan yang makruh.

Iman dibagi menjadi tiga tingkatan, yang mana masing-masing tingkatan mengandungi sebagian cabang-cabang iman, dan secara teratur cabang-cabang iman itu menduduki masing-masing tingkatannya yang bersesuaian.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tentang iman: ia adalah tersusun dari yang ashl (dasar), ia tidak sempurna tanpa dengannya, dan dari yang wajib, ia berkurang dengan hilangnya dengan suatu kekurangan yang pelakunya berhak mendapatkan hukuman (siksa), dan dari yang mustahab akan hilang dengan hilangnya ketinggian derajatnya (Majmu'ul Fatawa 7/637).

Lebih sederhana lagi, Syeikh Abdul Qodir Abdul Aziz menyatakan: Iman itu memiliki dua bentuk. Sebagian ada yang fardu`ain (yaitu yang bersifat global), dan sebagain lagi bersifat fardhu kifayah (yaitu yang bersifat terperinci), sebagai hasil (buah) dari menuntut ilmu.

Khatimah

Demikianlah kedudukan (mawqif) Iman dalam hakikatnya, adapun secara hukum (syari`ah) hanya berlaku pada apa-apa yang dzohir. “Nahnu Hukmi bi dzawahir, wa aLLoHi bi syaroir”, kita menghukumi apa yang nampak, dan yang selain itu adalah wewenang aLLoH. ALLoH Ta'ala membedakan antara Iman Hakiki dan Iman Hukmi, sebagaimana firman-Nya dalam banyak tempat di Al-Qur`an dan Al-Hadits. WaaLLoHu a`lam

Maroji`

· Lajnah Ilmiyah HASMI, Iman menurut Ahlussunnah. – Bogor: HASMI, 2002

· Majalah As-Silmi, Badai Murji`ah Menimpa Ahlussunnah dan Ahlulhadits. – edisi 18 Tahun 2007.

· Syeikh Abdul Qodir Abdul Aziz, Mendudukan Aqidah dan Jihad (e-Book)

· Syeikh Abdul Qodir Abdul Aziz, Kafir Tanpa Sadar (Seri Terjemah Al-Jami Fie Tholabil `Ilmi Syarief) . – Solo: Islamika, 2006.

Selasa, 13 Oktober 2009

Political Jihad

· 0 komentar

Oleh: Bambang Sukirno (Direktur Penerbit Jazera)

“Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa hati ikhlas, berhasil menciptakan cinta mati syahid. Tetapi, kita lalai memikirkan kekuasaan (politik). Kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Akhirnya, kita sukses mengubah arah angin; kemenangan dengan pengorbanan yang mahal bisa kita raih. Tetapi, menjelang babak akhir, saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan ‘rahmat’ untuk menjinakkan kita.” (Tokoh Jihad Afghan-Arab)

Kalimat di atas dikutip syaikh Hazim Al-Madani dalam Hakadza Naral-Jihad (begini jihad yang kami pahami). Ia sering mendengar ungkapan itu sejak dulu kala. “Kalimat itu sangat populer di kalangan mujahidin Afghan, ada yang sepakat dan ada pula yang tidak,” demikian kenangnya. Kini, ia mulai menemukan relevansinya ketika banyak merenungkan perkembangan gerakan jihadis akhir-akhir ini. Berikut lanjutan refleksinya:

“Sayap siyasi yang aku maksud bukanlah politik kotor yang dipamerkan para penyembah dunia; politik yang mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan; politik yang menyamarkan kebenaran atau menguranginya. Tidak, sekali lagi tidak. Politik yang aku maksud adalah politik yang kita baca dari cara Nabi SAW dalam mengelola umat; baik dalam masalah sosial, dakwah, dan jihad di medan tempur. Kita mempunyai teladan yang baik dalam persoalan ini.”

Menurut syaikh, lalai dalam perundangan ini hanya akan menghantarkan generasi berganti generasi tanpa ujung. Karena begitulah perundangan Rasulullah. Bukankah ada hukum sebab akibat? Dan bukankah kita diperintahkan untuk ahdzul asbab? (menempuh prosedur kemenangan). Dan beliau menegaskan tentang ‘ujung’ dari perjuangan dalam kalimat berikut:

“…Masa depan kita bukanlah semata-mata cita-cita egoistis untuk mati syahid, bukan pula semata sukses melewati ujian dunia. Masa depan kita adalah masa depan yang akan kita wariskan kepada generasi penerus. Sebuah kekuasaan di bawah naungan Al-Qur’an dan bukan kekuasaan konstitusi manusia. Karenanya, kita wajib mengorbankan segenap jiwa dan raga untuk menggapainya.”

Tulisan beliau, di samping sebagai pengingat atas kealpaan kelompok pergerakan, juga semacam lecutan untuk ‘melek’ politik (siyasy). Meski sekali lagi politik dimaksud bukanlah politik kotor. Bukan politik kalah menang. Politik di sini lebih ke “tata kelola” atau semacam “political”. Menurutnya, kehidupan memiliki dua sayap: pengelolaan secara internal (political) dan pemeliharaan dari gangguan eksternal (militer). Dan di antara ahdzul asabab adalah apabila kita menggunakan kedua sayap itu sekaligus tanpa meninggalkan salah satu dari keduanya. Adalah sebuah realitas bahwa gerakan-gerakan jihad di dunia lebih maju di ranah “militer” dan belum di ranah siyasy.

Meski demikian, bahan baku dari perjuangan ini adalah militer. Beliau menulis: “Pertarungan politis ini mutlak membutuhkan kekuatan (militer). Sebab, dalam keyakinan kami tak ada bahan baku yang pas untuk membangun kejayaan umat Islam kecuali militer. Tak bisa diganti yang lain. Mercusuar politik di gedung parlemen—candu sosial—yang dengannya umat Islam mabuk sama sekali bukan jalan kami. Perubahan sama sekali tak berhubungan dengannya. Inti dari politik ala parlemen adalah sikap larut, terwarnai, dan kompromi dengan kebatilan. Rabb kita tak merestui jalan seperti ini, tidak menerimanya sebagai amal saleh, tidak pula mengiringinya. Justru, Rabb kita akan membiarkannya hingga selangkah demi selangkah para pelakunya akan masuk dalam lembah kebingungan dan kesesatan. Kebingungan yang ia tak mampu keluar darinya.”

Refleksi-refleksi di atas, selaras dengan apa yang pernah ditulis oleh Abu Muhammad Al-Maqdisy dalam Waqafat Ma’a Tsamratil-Jihad. Beliau juga prihatin atas ketidaksiapan kelompok jihadis memimpin negeri. Beliau sangat sedih saat mendengar jawaban panglima mujahidin terkenal dalam sebuah jumpa pers ketika ditanya, “Apakah ia akan mengambil alih pemerintahan saat negerinya dibebaskan?” Dan jawabnya, “Tidak.” Sang panglima berargumen bahwa mereka adalah mujahid. Hidup mereka didedikasikan untuk memerangi musuh Allah di mana saja berada. Adapun kekuasaan politik, ia mengaku bukan ahlinya. Dan argumen itu, menurut Maqdisy adalah cacat; baik secara syar’i maupun aqly. Bukankah mereka selama ini kelompok pembebas negeri muslim? Bagaimana mungkin saat kemerdekaan bisa diraih, mereka membiarkan kelompok fajir tampil memimpin?

Dan itulah jihad tamkien dalam istilah beliau. Jihad yang bertujuan membebaskan sebuah wilayah agar umat Islam bebas menjalankan syariatnya. Beliau membedakan dengan jihad nikayah yang ditujukan untuk memukul musuh yang menindas umat Islam di manapun dan kapan pun. Kedua-duanya tentu adalah amal saleh, tak ada maksud membeda-bedakan dalam dua ketegori ini. Dan untuk mewujudkan tamkien, syaikh Maqdisy mensyaratkan bahwa gerakan Islam perlu memiliki visi jauh ke depan juga kemampuan dan pengalaman untuk menapakinya. Mereka haruslah himpunan dari ulama rabbani, para da’i, dan mujahid yang shidiq. Jadi bukan sekadar semangat.

Saatnya kelompok pergerakan memikirkan hal ini. Bahwa jihad adalah seumpama war (perang) dan bukan sekadar battle (tempur). “War” tentu medannya menjadi sangat luas dan komprehensif. Upaya-upaya untuk mengelola ragam kekuatan, ragam potensi, menjadi tuntutan yang tak bisa dihindarkan. Semua disinergikan dalam satu tujuan iqamatud-dien (menegakkan agama). Sebagai pungkasan, Syaikh Hazim menegaskan bahwa sifat pertarungan adalah lintas generasi dan bukan satu generasi. Semangat untuk memetik buah sebelum matang sama dengan gagal memanen plus tak ada yang bisa diwariskan.

[muslimdaily.net]

Senin, 12 Oktober 2009

Diskusi Perdana K3Forum : Menggugat Terorisme Densus88

· 0 komentar

“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam, kekal Ia didalamnya dan Allah Murka kepadanya, dan mengutuknya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Q.S An-Nisa’ 93)

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu Qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”(Q.S Al-Baqoroh 178)

Kunjungi http://k3forum.multiply.com/journal/item/2/Menggugat_Teror_Densus_88_AT

K3 Forum di Multiply

· 0 komentar

Alhamdulillah, kami sudah melauching Forum diskusi berbasis Multiply. Forum ini akan dijadikan alat/ sarana komunikasi dan berbagi untuk K3-Bogor, dengan para aktivis online yang aktif di MP.

Apakah antum sudah bergabung..?
Kunjungi Forumnya disini: >>>K3Forum<<<

Jumat, 09 Oktober 2009

Ahlan...

· 0 komentar

Selamat datang di Blog K3-B. Kami bertekad untuk belajar dan bergerak karena Allah. Kami bertekad untuk keluar dari taqlid dan ashobiyah.