Pembahasaan ini kami anggap penting karena merupakan bagian dari ushuluddin. Siapa yang lemah dalam ushul tentu akan lemah pada perkara furu` (cabang). Juga perbedaan pada perkara cabang merupakan konsekuensi dari perbedaan pada perkara ushul. Sementara itu, banyak pihak yang berkepentingan untuk mencampurbaurkan dan merancukan konsep dasar dalam Islam.
Pendapat yang raajih adalah bahwasanya Iman itu perkataan/ucapan (qoul) dan perbuatan (amal), bertambah (yaziidu) dan berkurang (yanqushu). Berkata Ibnu Hajar rahimahuLLoH dalam Fathul Bari: “Al Lalikai meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Al Bukhari beliau berkata: saya bertemu lebih dari seribu lelaki dari para ulama di kota-kota, maka saya tidak melihat seorang pun dari mereka yang menyelisihi bahwasanya iman adalah ucapan dan perbuatan, dan bertambah dan berkurang.”
Penjelasan ringkas:
§ Yang dimaksud qaul (perkataan) yaitu: perkataan hati dan perkataan lisan (badan).
§ Yang dimaksud amal (perbuatan) yaitu: perbuatan hati dan anggota badan.
§ Adapun yang dimaksud perkataan hati yaitu ma’rifah-nya dan tashdiq-nya yang sebenarnya yang bangkit di atas ketaatan dan kepatuhan.
§ Adapun perkataan lisan yaitu mengikrarkan syahadatain. (juga ucapan lainnya)
§ Adapun perbuatan hati yaitu ibadah-ibadah hati seperti ikhlas, khasyyah (takut), mahabbah (cinta), taslim (menyerah) dan sebagainya.
§ Adapun perbuatan al jawarih (anggota badan) yaitu: menuruti perintah-perintah dan larangan-larangan syari'at.
§ Adapun yang dimaksud bertambah (yaziidu) dan berkurang (yanqushu) yaitu: bertambah dengan ketaatan-ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan-kemaksiatan sampai tidak tersisa sedikitpun. [Lihat: Al Jami’]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahuLLoH merangkum ucapan-ucapan tentang pengertian Iman dan hakikatnya yang termasuk katagori Ahlussunnah.
Beliau berkata: Dan dari ucapan-ucapan salaf dan imam-imam sunnah dalam menafsirkan iman maka kadang kala mereka mengatakan: ucapan dan perbuatan, dan kadangkala mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat, dan kadangkala mereka mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat dan mengikuti sunnah, dan kadangkala mengatakan: ucapan dengan lisan, dan keyakinan dengan hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Dan semuanya ini benar – sehingga kata-katanya – bagi salaf yang mengatakan: iman adalah ucapan dan perbuatan hati dan anggota badan, maksudnya ucapan hati dan lisan dan perbuatan hati dan anggota badan. Dan bagi yang menggunakan lafadz “I’tiqad” (keyakinan), mereka berpendapat bahwa lafadz qaul (ucapan) tidak bisa dipahami darinya selain ucapan yang lahir (ucapan lisan) atau mereka khawatir yang demikian itu maka mereka tambah i’tiqad (keyakinan) dengan hati.
Adapun yang mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat, dia berkata: bahwa ucapan mengandungi keyakinan dan ucapan lisan, dan adapun perbuatan kadangkala tidak dipahami darinya niat, lalu ditambahkan niat di situ. Dan adapun yang menambahkan ittiba’us sunnah (mengikuti sunnah) karena seluruhnya itu tidak akan dicintai Allah kecuali dengan mengikuti sunnah. Dan mereka tidak bermaksud segala ucapan dan perbuatan, maksud mereka hanyalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang masyri’ (disyari’atkan). Akan tetapi maksud mereka adalah menyanggah terhadap Murji`ah yang menjadikan iman hanya ucapan saja, maka mereka berkata: bahkan ucapan dan perbuatan. (Majmu'ul Fatawa 7/170-171)
Martabat Iman
Kaitan antara kesempurnaan Iman, naik-turunnya Iman atau pernyataan bahwa Iman itu “satu” maka perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan martabat (tingkatan) Iman.
Apabila disebut lafadz “Iman” berarti maksudnya addien (agama) secara keseluruhannya, ia merangkumi cabang-cabang sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
Artinya: Iman adalah tujuh puluh atau enam puluh cabang, maka yang paling utamanya adalah ucapan “Laa ilaaha ila aLLoh” dan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan duri dari jalan, dan malu adalah cabang dari iman. [H.R. Muslim]
Maka Iman adalah mengandungi seluruh ketaatan yang fardhu dan yang sunnah dari segala yang diwajibkan atas hati, lisan dan anggota badan. Begitu juga Iman merangkumi atas meninggalkan perkara-perkara yang dilarang, yang haram, dan yang makruh.
Iman dibagi menjadi tiga tingkatan, yang mana masing-masing tingkatan mengandungi sebagian cabang-cabang iman, dan secara teratur cabang-cabang iman itu menduduki masing-masing tingkatannya yang bersesuaian.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tentang iman: ia adalah tersusun dari yang ashl (dasar), ia tidak sempurna tanpa dengannya, dan dari yang wajib, ia berkurang dengan hilangnya dengan suatu kekurangan yang pelakunya berhak mendapatkan hukuman (siksa), dan dari yang mustahab akan hilang dengan hilangnya ketinggian derajatnya (Majmu'ul Fatawa 7/637).
Lebih sederhana lagi, Syeikh Abdul Qodir Abdul Aziz menyatakan: Iman itu memiliki dua bentuk. Sebagian ada yang fardu`ain (yaitu yang bersifat global), dan sebagain lagi bersifat fardhu kifayah (yaitu yang bersifat terperinci), sebagai hasil (buah) dari menuntut ilmu.
Khatimah
Demikianlah kedudukan (mawqif) Iman dalam hakikatnya, adapun secara hukum (syari`ah) hanya berlaku pada apa-apa yang dzohir. “Nahnu Hukmi bi dzawahir, wa aLLoHi bi syaroir”, kita menghukumi apa yang nampak, dan yang selain itu adalah wewenang aLLoH. ALLoH Ta'ala membedakan antara Iman Hakiki dan Iman Hukmi, sebagaimana firman-Nya dalam banyak tempat di Al-Qur`an dan Al-Hadits. WaaLLoHu a`lam
· Lajnah Ilmiyah HASMI, Iman menurut Ahlussunnah. – Bogor: HASMI, 2002
· Majalah As-Silmi, Badai Murji`ah Menimpa Ahlussunnah dan Ahlulhadits. – edisi 18 Tahun 2007.
· Syeikh Abdul Qodir Abdul Aziz, Mendudukan Aqidah dan Jihad (e-Book)
· Syeikh Abdul Qodir Abdul Aziz, Kafir Tanpa Sadar (Seri Terjemah Al-Jami Fie Tholabil `Ilmi Syarief) . – Solo: Islamika, 2006.
0 komentar:
Posting Komentar