Rabu, 28 Oktober 2009

Makhluq Apakah Darurat Itu...?

· 0 komentar

Diantara pembahasan fiqh ada yang dikenal dengan sebutan rukhsah dan darurat. Rukhsah biasanya diambil karena kondisi darurat. Memakan babi yang haram menjadi boleh atau dirukhsah dalam keadaan darurat. Sementara seorang ikhwan yang menelepon atau mendatangi kosan akhwat karena syahwatnya sedang tinggi, tentu bukan termasuk darurat. Meskipun kedua kasus tersebut sama-sama memiliki unsur dorongan untuk menyelamatkan diri.

Topik diskusi kali ini adalah KONSEP DARURAT DALAM SYARIAH ISLAM. Adapun jika terpaksa membahas tentang hukum terkait seperti RUKHSAH, dll mohon tidak memperpanjang pembahasan..

Berikut ini beberapa cuplikan pendapat Ulama tentang darurat:
Darurat dapat diartikan sebagai kekhawatiran akan terancamnya kehidupan jika tidak memakan yang diharamkan, atau khawatir akan musnahnya seluruh harta miliknya. (Muhamad Abu Zahrah dalam Ushul Al-Fiqh hal. 43 ). Sementara Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Nazhariyyah Al-Dharurah mendefinisikan darurat sebagai suatu keadaan datangnya bahaya (khathr) pada manusia atau kesulitan (masyaqqah) yang amat berat, yang membuat dia khawatir akan terjadinya mudarat atau sesuatu yang menyakitkan atas jiwa, anggota tubuh, kehormatan, akal, harta, dan lain-lain.

Selasa, 20 Oktober 2009

Memahami Konsepsi Iman dan Hakikatnya

· 0 komentar

Iman atau yang biasa diterjemahkan sebagai kepercayaan atau keyakinan adalah dasar/ pokok dari ajaran Islam. Agama Islam mendasarkan seluruh amal manusia (pengikutnya) pada hal ini. Seluruh perhitungan pahala dan dosa bergantung pada keimanan seseorang. Masalah Iman ini adalah masalah al-asma` wal ahkam. Bahkan menurut Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah ra., salah dalam ismul imaan tidak seperti salah dalam ismul muhdats.

Pembahasaan ini kami anggap penting karena merupakan bagian dari ushuluddin. Siapa yang lemah dalam ushul tentu akan lemah pada perkara furu` (cabang). Juga perbedaan pada perkara cabang merupakan konsekuensi dari perbedaan pada perkara ushul. Sementara itu, banyak pihak yang berkepentingan untuk mencampurbaurkan dan merancukan konsep dasar dalam Islam.

Pernyataan tentang Iman dan Kufur (yang berarti juga menjelaskan konsepnya) mengandung konsekuensi yang berat dibelakangnya. Menyatakan seseorang sebagai muslim atau sebagai kafir bisa dianggap sebagai pernyataan tempat seseorang di akhirat. Jika ini dianggap benar, itu berarti orang-orang yang tidak mempercayai kehidupan akhirat diluar pembahasan ini. Maksudnya, dia tidak berhak ikut campur dalam hal-ihwal statment ini.

Orang-orang yang mempercayai (kebanaran) adanya Yaumul Akhir berselisih sebagaimana orang-orang yang mempercayai (kebenaran) adanya al-Kholiq. Akan tetapi Islam telah menetapkan bahwa kebenaran hanya ada pada orang yang beriman kepada aLLoH dan beriman kepada Yaumul Akhir; al-Imaanu biLLaH wal-Yaumil Akhir. Mereka sepakat dalam i`tiqod akan tetapi sering berbeda dalam praktek. Diantara mereka ada yang dijamin keselamatannya dari siksa an-Naar, meski seluruhnya punya hak untuk memasuki al-Jannah. RosuluLLoH menyebut (laqob) mereka sebagai Al-Firqoh An-Najiyah, yang maa ana alayhi wa ashaby (bersama sunnah Nabi dan sunnah sahabatnya).

Definisi dan Batasan

Perbedaan dan perdebatan tentang konsep Iman sudah bermulai sejak abad-abad awal sejarah peradaban Islam. Kenyataan ini menyebabkan umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan. Masalah Iman adalah salahsatu penyebab utamanya. Awalnya perdebatan ini hanya seputar masalah al-kabair (dosa besar) – apakah ia membuat kafir (mukaffiroh) atau tidak. Perbedaan yang ada belakangan ini tidak berarti tidak adanya kejelasan konsep Iman dalam Islam. Karena para zaman para shahabah ridlwanaLLoHu ajma`in tidak ada perdebatan semacam ini.

Konsep yang baik dan sempurna adalah konsep yang memuat pernyataan jami` (komprehensif) dan mani` (protektif). Jami` berarti mencakup keseluruhan hal yang ada pada konsep tersebut. Mani` berarti membatasi/ menghalangi dari hal yang tidak dicakup oleh konsep tersebut.

Diantara pendapat tentang Iman adalah pernyataan bahwa Iman adalah tasdiqul qolb (pembenaran hati). Sebagiannya menjadikan amal sebagai penyempurna, sebagian menganggapnya sebagai konsekuensi logis Kemudian juga ada yang pendapat bahwa Iman itu “satu” dan “sempurna”. Ketika ia hilang sebagiannya maka hilang seluruhnya.

Penerapan jami` dan mani` dalam masalah ini pun menjadi samar. Anggapan bahwa Iman tempatnya di hati memiliki asumsi bahwa seseorang bisa saja beriman meski amalnya tidak menunjukan hal itu. Sementara yang berpendapat Iman itu “satu” memiliki asumsi bahwa amal yang tidak sesuai dengan Iman adalah kedustaan (kazb), sedangkan kazb bertentangan dengan Iman. Asumsi-asumsi ini bolehjadi mengacu pada dalil-dalil ayat al-Qur`an, akan tetapi belum tentu bersandar pada kerangka berpikir yang shohih.

Pengertian Iman dan Hakikatnya

Pendapat yang raajih adalah bahwasanya Iman itu perkataan/ucapan (qoul) dan perbuatan (amal), bertambah (yaziidu) dan berkurang (yanqushu). Berkata Ibnu Hajar rahimahuLLoH dalam Fathul Bari: “Al Lalikai meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Al Bukhari beliau berkata: saya bertemu lebih dari seribu lelaki dari para ulama di kota-kota, maka saya tidak melihat seorang pun dari mereka yang menyelisihi bahwasanya iman adalah ucapan dan perbuatan, dan bertambah dan berkurang.”

Penjelasan ringkas:

§ Yang dimaksud qaul (perkataan) yaitu: perkataan hati dan perkataan lisan (badan).

§ Yang dimaksud amal (perbuatan) yaitu: perbuatan hati dan anggota badan.

§ Adapun yang dimaksud perkataan hati yaitu ma’rifah-nya dan tashdiq-nya yang sebenarnya yang bangkit di atas ketaatan dan kepatuhan.

§ Adapun perkataan lisan yaitu mengikrarkan syahadatain. (juga ucapan lainnya)

§ Adapun perbuatan hati yaitu ibadah-ibadah hati seperti ikhlas, khasyyah (takut), mahabbah (cinta), taslim (menyerah) dan sebagainya.

§ Adapun perbuatan al jawarih (anggota badan) yaitu: menuruti perintah-perintah dan larangan-larangan syari'at.

§ Adapun yang dimaksud bertambah (yaziidu) dan berkurang (yanqushu) yaitu: bertambah dengan ketaatan-ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan-kemaksiatan sampai tidak tersisa sedikitpun. [Lihat: Al Jami’]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahuLLoH merangkum ucapan-ucapan tentang pengertian Iman dan hakikatnya yang termasuk katagori Ahlussunnah.

Beliau berkata: Dan dari ucapan-ucapan salaf dan imam-imam sunnah dalam menafsirkan iman maka kadang kala mereka mengatakan: ucapan dan perbuatan, dan kadangkala mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat, dan kadangkala mereka mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat dan mengikuti sunnah, dan kadangkala mengatakan: ucapan dengan lisan, dan keyakinan dengan hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Dan semuanya ini benar – sehingga kata-katanya – bagi salaf yang mengatakan: iman adalah ucapan dan perbuatan hati dan anggota badan, maksudnya ucapan hati dan lisan dan perbuatan hati dan anggota badan. Dan bagi yang menggunakan lafadz “I’tiqad” (keyakinan), mereka berpendapat bahwa lafadz qaul (ucapan) tidak bisa dipahami darinya selain ucapan yang lahir (ucapan lisan) atau mereka khawatir yang demikian itu maka mereka tambah i’tiqad (keyakinan) dengan hati.

Adapun yang mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat, dia berkata: bahwa ucapan mengandungi keyakinan dan ucapan lisan, dan adapun perbuatan kadangkala tidak dipahami darinya niat, lalu ditambahkan niat di situ. Dan adapun yang menambahkan ittiba’us sunnah (mengikuti sunnah) karena seluruhnya itu tidak akan dicintai Allah kecuali dengan mengikuti sunnah. Dan mereka tidak bermaksud segala ucapan dan perbuatan, maksud mereka hanyalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang masyri’ (disyari’atkan). Akan tetapi maksud mereka adalah menyanggah terhadap Murji`ah yang menjadikan iman hanya ucapan saja, maka mereka berkata: bahkan ucapan dan perbuatan. (Majmu'ul Fatawa 7/170-171)

Martabat Iman

Kaitan antara kesempurnaan Iman, naik-turunnya Iman atau pernyataan bahwa Iman itu “satu” maka perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan martabat (tingkatan) Iman.

Apabila disebut lafadz “Iman” berarti maksudnya addien (agama) secara keseluruhannya, ia merangkumi cabang-cabang sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

Artinya: Iman adalah tujuh puluh atau enam puluh cabang, maka yang paling utamanya adalah ucapan “Laa ilaaha ila aLLoh” dan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan duri dari jalan, dan malu adalah cabang dari iman. [H.R. Muslim]

Maka Iman adalah mengandungi seluruh ketaatan yang fardhu dan yang sunnah dari segala yang diwajibkan atas hati, lisan dan anggota badan. Begitu juga Iman merangkumi atas meninggalkan perkara-perkara yang dilarang, yang haram, dan yang makruh.

Iman dibagi menjadi tiga tingkatan, yang mana masing-masing tingkatan mengandungi sebagian cabang-cabang iman, dan secara teratur cabang-cabang iman itu menduduki masing-masing tingkatannya yang bersesuaian.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tentang iman: ia adalah tersusun dari yang ashl (dasar), ia tidak sempurna tanpa dengannya, dan dari yang wajib, ia berkurang dengan hilangnya dengan suatu kekurangan yang pelakunya berhak mendapatkan hukuman (siksa), dan dari yang mustahab akan hilang dengan hilangnya ketinggian derajatnya (Majmu'ul Fatawa 7/637).

Lebih sederhana lagi, Syeikh Abdul Qodir Abdul Aziz menyatakan: Iman itu memiliki dua bentuk. Sebagian ada yang fardu`ain (yaitu yang bersifat global), dan sebagain lagi bersifat fardhu kifayah (yaitu yang bersifat terperinci), sebagai hasil (buah) dari menuntut ilmu.

Khatimah

Demikianlah kedudukan (mawqif) Iman dalam hakikatnya, adapun secara hukum (syari`ah) hanya berlaku pada apa-apa yang dzohir. “Nahnu Hukmi bi dzawahir, wa aLLoHi bi syaroir”, kita menghukumi apa yang nampak, dan yang selain itu adalah wewenang aLLoH. ALLoH Ta'ala membedakan antara Iman Hakiki dan Iman Hukmi, sebagaimana firman-Nya dalam banyak tempat di Al-Qur`an dan Al-Hadits. WaaLLoHu a`lam

Maroji`

· Lajnah Ilmiyah HASMI, Iman menurut Ahlussunnah. – Bogor: HASMI, 2002

· Majalah As-Silmi, Badai Murji`ah Menimpa Ahlussunnah dan Ahlulhadits. – edisi 18 Tahun 2007.

· Syeikh Abdul Qodir Abdul Aziz, Mendudukan Aqidah dan Jihad (e-Book)

· Syeikh Abdul Qodir Abdul Aziz, Kafir Tanpa Sadar (Seri Terjemah Al-Jami Fie Tholabil `Ilmi Syarief) . – Solo: Islamika, 2006.

Selasa, 13 Oktober 2009

Political Jihad

· 0 komentar

Oleh: Bambang Sukirno (Direktur Penerbit Jazera)

“Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa hati ikhlas, berhasil menciptakan cinta mati syahid. Tetapi, kita lalai memikirkan kekuasaan (politik). Kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Akhirnya, kita sukses mengubah arah angin; kemenangan dengan pengorbanan yang mahal bisa kita raih. Tetapi, menjelang babak akhir, saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan ‘rahmat’ untuk menjinakkan kita.” (Tokoh Jihad Afghan-Arab)

Kalimat di atas dikutip syaikh Hazim Al-Madani dalam Hakadza Naral-Jihad (begini jihad yang kami pahami). Ia sering mendengar ungkapan itu sejak dulu kala. “Kalimat itu sangat populer di kalangan mujahidin Afghan, ada yang sepakat dan ada pula yang tidak,” demikian kenangnya. Kini, ia mulai menemukan relevansinya ketika banyak merenungkan perkembangan gerakan jihadis akhir-akhir ini. Berikut lanjutan refleksinya:

“Sayap siyasi yang aku maksud bukanlah politik kotor yang dipamerkan para penyembah dunia; politik yang mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan; politik yang menyamarkan kebenaran atau menguranginya. Tidak, sekali lagi tidak. Politik yang aku maksud adalah politik yang kita baca dari cara Nabi SAW dalam mengelola umat; baik dalam masalah sosial, dakwah, dan jihad di medan tempur. Kita mempunyai teladan yang baik dalam persoalan ini.”

Menurut syaikh, lalai dalam perundangan ini hanya akan menghantarkan generasi berganti generasi tanpa ujung. Karena begitulah perundangan Rasulullah. Bukankah ada hukum sebab akibat? Dan bukankah kita diperintahkan untuk ahdzul asbab? (menempuh prosedur kemenangan). Dan beliau menegaskan tentang ‘ujung’ dari perjuangan dalam kalimat berikut:

“…Masa depan kita bukanlah semata-mata cita-cita egoistis untuk mati syahid, bukan pula semata sukses melewati ujian dunia. Masa depan kita adalah masa depan yang akan kita wariskan kepada generasi penerus. Sebuah kekuasaan di bawah naungan Al-Qur’an dan bukan kekuasaan konstitusi manusia. Karenanya, kita wajib mengorbankan segenap jiwa dan raga untuk menggapainya.”

Tulisan beliau, di samping sebagai pengingat atas kealpaan kelompok pergerakan, juga semacam lecutan untuk ‘melek’ politik (siyasy). Meski sekali lagi politik dimaksud bukanlah politik kotor. Bukan politik kalah menang. Politik di sini lebih ke “tata kelola” atau semacam “political”. Menurutnya, kehidupan memiliki dua sayap: pengelolaan secara internal (political) dan pemeliharaan dari gangguan eksternal (militer). Dan di antara ahdzul asabab adalah apabila kita menggunakan kedua sayap itu sekaligus tanpa meninggalkan salah satu dari keduanya. Adalah sebuah realitas bahwa gerakan-gerakan jihad di dunia lebih maju di ranah “militer” dan belum di ranah siyasy.

Meski demikian, bahan baku dari perjuangan ini adalah militer. Beliau menulis: “Pertarungan politis ini mutlak membutuhkan kekuatan (militer). Sebab, dalam keyakinan kami tak ada bahan baku yang pas untuk membangun kejayaan umat Islam kecuali militer. Tak bisa diganti yang lain. Mercusuar politik di gedung parlemen—candu sosial—yang dengannya umat Islam mabuk sama sekali bukan jalan kami. Perubahan sama sekali tak berhubungan dengannya. Inti dari politik ala parlemen adalah sikap larut, terwarnai, dan kompromi dengan kebatilan. Rabb kita tak merestui jalan seperti ini, tidak menerimanya sebagai amal saleh, tidak pula mengiringinya. Justru, Rabb kita akan membiarkannya hingga selangkah demi selangkah para pelakunya akan masuk dalam lembah kebingungan dan kesesatan. Kebingungan yang ia tak mampu keluar darinya.”

Refleksi-refleksi di atas, selaras dengan apa yang pernah ditulis oleh Abu Muhammad Al-Maqdisy dalam Waqafat Ma’a Tsamratil-Jihad. Beliau juga prihatin atas ketidaksiapan kelompok jihadis memimpin negeri. Beliau sangat sedih saat mendengar jawaban panglima mujahidin terkenal dalam sebuah jumpa pers ketika ditanya, “Apakah ia akan mengambil alih pemerintahan saat negerinya dibebaskan?” Dan jawabnya, “Tidak.” Sang panglima berargumen bahwa mereka adalah mujahid. Hidup mereka didedikasikan untuk memerangi musuh Allah di mana saja berada. Adapun kekuasaan politik, ia mengaku bukan ahlinya. Dan argumen itu, menurut Maqdisy adalah cacat; baik secara syar’i maupun aqly. Bukankah mereka selama ini kelompok pembebas negeri muslim? Bagaimana mungkin saat kemerdekaan bisa diraih, mereka membiarkan kelompok fajir tampil memimpin?

Dan itulah jihad tamkien dalam istilah beliau. Jihad yang bertujuan membebaskan sebuah wilayah agar umat Islam bebas menjalankan syariatnya. Beliau membedakan dengan jihad nikayah yang ditujukan untuk memukul musuh yang menindas umat Islam di manapun dan kapan pun. Kedua-duanya tentu adalah amal saleh, tak ada maksud membeda-bedakan dalam dua ketegori ini. Dan untuk mewujudkan tamkien, syaikh Maqdisy mensyaratkan bahwa gerakan Islam perlu memiliki visi jauh ke depan juga kemampuan dan pengalaman untuk menapakinya. Mereka haruslah himpunan dari ulama rabbani, para da’i, dan mujahid yang shidiq. Jadi bukan sekadar semangat.

Saatnya kelompok pergerakan memikirkan hal ini. Bahwa jihad adalah seumpama war (perang) dan bukan sekadar battle (tempur). “War” tentu medannya menjadi sangat luas dan komprehensif. Upaya-upaya untuk mengelola ragam kekuatan, ragam potensi, menjadi tuntutan yang tak bisa dihindarkan. Semua disinergikan dalam satu tujuan iqamatud-dien (menegakkan agama). Sebagai pungkasan, Syaikh Hazim menegaskan bahwa sifat pertarungan adalah lintas generasi dan bukan satu generasi. Semangat untuk memetik buah sebelum matang sama dengan gagal memanen plus tak ada yang bisa diwariskan.

[muslimdaily.net]

Senin, 12 Oktober 2009

Diskusi Perdana K3Forum : Menggugat Terorisme Densus88

· 0 komentar

“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam, kekal Ia didalamnya dan Allah Murka kepadanya, dan mengutuknya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Q.S An-Nisa’ 93)

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu Qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”(Q.S Al-Baqoroh 178)

Kunjungi http://k3forum.multiply.com/journal/item/2/Menggugat_Teror_Densus_88_AT

K3 Forum di Multiply

· 0 komentar

Alhamdulillah, kami sudah melauching Forum diskusi berbasis Multiply. Forum ini akan dijadikan alat/ sarana komunikasi dan berbagi untuk K3-Bogor, dengan para aktivis online yang aktif di MP.

Apakah antum sudah bergabung..?
Kunjungi Forumnya disini: >>>K3Forum<<<

Jumat, 09 Oktober 2009

Ahlan...

· 0 komentar

Selamat datang di Blog K3-B. Kami bertekad untuk belajar dan bergerak karena Allah. Kami bertekad untuk keluar dari taqlid dan ashobiyah.